Selasa, 08 April 2008

psikologi pendidikan L.Torndike

Tuesday, May 15, 2007
BELAJAR DAN PRILAKU
(Gambaran Singkat Teori Belajar Behavioristik)
Oleh : Agus Wibowo*
A. Pendahuluan
Aliran psikologi behaviorisme diperkenalkan oleh John B.Watson dan Adward L. Thorndike di Amerika Serikat pada awal abad ke 20 (Anderson J. R., 1994 : 3). Pendekatan psikologi yang kemudian merajai di berbagai penjuru dunia ini berdasar atas assosianisme fisiologis (Nana Sudjana, 1991 : 18). Psikologi Watson selanjutnya dikenal dengan behaviorisme, sedangkan psikologi Thorndike dikenal dengan koneksionisme. Meskipun demikian, keduanya dalam arti yang luas adalah behavioristik. Menurut Watson, prilaku yang seharusnya menjadi subjek psikologi bukan kesadaran akal (mind). Psikologi harus cukup luas untuk menampung prilaku organisme. Metode introspeksi menurutnya terlalu subjektif bertitik-tolak pada konsep refleks dari ilmu syaraf. Oleh karena itu, studi psikologi hendaknya mempelajari respon organisme terhadap stimuli. Bermula dari tesis tersebut muncullah formula “S-R” (stimulus-respone). Watson berpendapat bahwa identifikasi unit S-R menyerupai refleks yang membentuk prilaku sederhana dan kompleks.

Pengaruh Watson terhadap bidang pendidikan juga cukup penting. Ia menekankan pentingnya pendidikan dalam rangka pengembangan tingkah laku. Ia percaya dengan kondisioning (pengkondisian) tertentu dalam proses pendidikan, dapat membuat peserta didik mempunyai sifat-sifat tertentu pula. Sementara pengaruh lainnya dalam bidang psikoterapi yakni penggunaan teknik kondisioning. Sekalipun psikologi Watson dan Thorndike saat ini tidak lagi dalam bentuk aslinya, namun banyak psikolog masa kini berorientasi pada pendapat mereka. Para penganut kedua tokoh tersebut menamakan diri kaum neobehaviorisme; di antaranya : Albert Bandura, Gagne, Glasser, Neal Miller, B. F. Skinner, J.M. Stephens. Dalam arti luas golongan behaviorisme ini mencakup semua teori S-R Bond atau konektionisme dan neobehaviorisme (Sudjana, 1991 : 22). Makalah ini pada prinsipnya merupakan pembahasan singkat dari teori belajar behavioristik dan beberapa tokoh yang mengikuti aliran ini beserta aplikasinya dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran.

B. Teori Belajar dalam Psikologi Behaviorisme beserta Tokoh-tokohnya

Teori belajar behavioristik juga disebut sebagai teori belajar stimulus-response atau conditioning yang menekankan kepada analisis prilaku yang bersifat objektif. Asumsi yang digunakan mengenai proses belajar adalah seseorang dapat mengerti proses belajar yang kompleks setelah ia mengerti proses belajar yang sederhana. Proses-proses yang sederhana diharapkan pula dapat menjelaskan proses-proses yang lebih kompleks (Sudjana : 23)

Menurut teori behavioristik, belajar merupakan perubahan tingkah laku akibat dari adanya interaksi antara stimulus (S) dan respon (R). Dengan kata lain, belajar merupakan perubahan yang dialami oleh peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia mampu menunjukkan perubahan tingkah lakunya (C. Asri Budiningsih, 2003 : 20-24). Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Stimulus dalam pembelajaran adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa; misalnya cara belajar, mengerjakan sesuatu, materi dan lain-lainnya sedangkan respon adalah reaksi siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.

Ada dua macam teori belajar conditioning yaitu instrumental conditioning yang dikembangkan oleh Edward L. Thorndike dan classical conditioning yang dikembangkan oleh Ivan P. Pavlov. Meskipun Asri Budiningsih tidak memasukkan Pavlov dalam kelompok tokoh behavioristik, namun penulis perlu memasukan pemikirannya dalam pembahasan ini karena pemikiran Pavlov ini banyak diikuti oleh penemu teori belajar behavioristik berikutnya.


1. Thorndike

Edward L. Thorndike dilahirkan di Williamsburg, Massachusetts tahun 1874. Universitas Wesleyen dan Universitas Harvad merupakan dua perguruan tinggi yang banyak mewarnai ide-ide psikologi Thorndike. Dalam setiap eksperimennya, Thorndike mempergunakan hewan-hewan —terutama kucing— untuk mengetahui fenomena belajar. Seekor kucing lapar dalam sangkar kotak jeruji dengan peralatan lengkap eksperimen yang disebut instrumental conditioning (yang berarti tingkah laku yang dipelajari) berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).

a. Teori Koneksionisme Thorndike

Hasil Eksperimen Thorndike dikenal sebagai teori belajar koneksionisme (Muhibbin Syah, 2000 : 105). Menurut Thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus (yaitu yang berupa rangsangan seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera), dengan respon (yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan). Oleh karena itu, teori ini juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Menurut teori ini, perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar dapat berujud kongkrit yaitu dapat diamati. Thorndike juga merumuskan beberapa hukum dalam belajar yaitu : pertama, motivasi (misalnya rasa lapar, rasa ingin dihargai, ingin pandai) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar. Kedua, low of effect; artinya jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan maka hubungan antara stimulus dan respons semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (menganggu) efek yang dicapai respon, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.
Selain itu, Thorndike juga membuat hukum belajar lainnya yaitu law of readiness (hukum kesiap-siagaan) dan law of exercise (hukum latihan). Low of readiness pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme berasal dari pendayagunaan satuan perantara (conduction units). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Hukum ini menurut Reber (1988) hanya bersifat spekulatif dan historis. Law of exercise merupakan generalisasi atas law of use dan law of disue. Maksudnya jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi prilaku tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika prilaku tadi tidak sering dilatih atau digunakan maka akan terlupakan atau sekurang-kurangnya menurun (law of disuse).

b. Aplikasi Teori Thorndike dalam dunia pendidikan dan pengajaran
Menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah dan praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Mengajar bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang diajarkan. Mengajar yang baik adalah : tahu tujuan pendidikan, tahu apa yang hendak diajarkan artinya tahu materi apa yang harus diberikan, respons yang akan diharapkan dan tahu kapan “hadiah” selayaknya diberikan kepada peserta didik. Ada beberap aturan yang dibuat Thorndike berhubungan dengan pengajaran :
• Perhatikan situasi peserta didik
• Perhatikan respons yang diharapkan dari situasi tersebut
• Ciptakan hubungan respons tersebut dengan sengaja, jangan mengharapkan hubungan terjadi dengan sendirinya
• Situasi-situasi yang sama jangan diindahkan sekiranya memutuskan hubungan tersebut.
• Buat hubungan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perbuatan nyata dari peserta didik
• Bila hendak menciptakan hubungan tertentu jangan membuat hubungan-hubungan lain yang sejenis.
• Ciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan di sekolah menurut Thorndike yaitu :
1. Sesuaikan dengan teorinya, dan sekolah harus mempunyai tujuan yang jelas.
2. Tujuan pendidikan harus sesuai dengan kemampuan siswa, bahan pengajaran harus dibagi menurut unit-unit, sehingga guru bisa memanipulasi bermacam-macam situasi misalnya situasi menyenangkan, tidak menyenangkan dan sebagainya
3. Proses belajar harus bertahap, dimulai dari yang sederhana hingga yang kompleks
4. Motivasi tidak perlu ditimbulkan kecuali dalam hubungan menentukan “apa yang menyenangkan bagi siswa“, oleh karena tingkah laku ditentukan oleh “eksternal reward” dan bukan oleh “intrinsic motivation”.
5. Tekanan pendidikan adalah perhatian pada pelaksanaan respons yang benar terhadap stimulus
6. Respons yang salah harus segera diperbaiki agar tidak diulang kembali, ujian harus dilaksanakan secara teratur dan merupakan umpan balik bagi guru apakah proses belajar telah sesuai dengan tujuan.
7. Memberi masalah yang sulit kepada siswa tidak akan meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
8. Bila siswa belajar secara baik, segera diberi hadiah (bisa berupa pujian, nilai bagus atau hadiah berupa barang), tetapi bila siswa berbuat salah harus segera ditegur atau diperbaiki agar tidak diulangi kembali.
9. Pendidikan yang baik adalah pelajaran yang didapat di sekolah oleh peserta didik dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari atau “pelajaran berbasis kenyataan”
2. Ivan P. Pavlov
Ivan P. Pavlov lahir pada tahun 1849 di kota Rayasan Rusia. Ayahnya merupakan seorang pendeta di suatu daerah miskin. Pavlov mengadakan riset mengenai refleks-refleks sederhana pada binatang, seperti pengeluaran air liur pada anjing. Dalam eksperime yang dilakukan sebanyak 12 trial, pavlov menyimpulkan bahwa organisme yang telah dikondidikan pada suatu Conditioned Stimulus (CS) tertentu akan memberikan reaksi berupa Conditioned Response (CR) yang merupakan hasil belajar pada rangsang sejenis (Irwanto, 2004 : 112). Dari penelitian dan karyanya ini Pavlov memperoleh Nobel pada tahun 1904 (Sudjana : 66)

a. Teori Classical Conditioning Pavlov
Pavlov banyak menyumbangkan gagasan dan pikirannya dalam ilmu psikologi. Pendapatnya mengenai refleks terkondisi, adalah akibat dari hasil pekerjaannya yang secara keseluruhan berbeda-beda di setiap tempat. Teori Pavlov terkenal dengan sebutan teori classical conditioning yang juga disebut response conditioning atau Pavloving conditioning. Teori ini merupakan teori belajar katagori Stimulus-Respon (S-R) tipe S.
Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu di bidang conditioning (upaya pembiasaan) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya, atau mungkin juga karena fungsinya. Teori pavlov ini juga dapat disebut respondent conditioning.
Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan unconditioned response (UCR). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respon yang tidak dipelajari ini disebut UCR (Ahmad Mudzakir, 1995 : 42).
Anjing percobaan mula-mula diikat sedemikian rupa pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenai eksperimen), secara alami anjing tersebut selalu mengeluarkan air liur setiap mulutnya berisi makanan. Ketika bel berbunyi, secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni mengeluarkan air liur.
Kemudian dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) didengarkan lagi tanpa disertai dengan makanan (UCS) apa yang terjadi ? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liurnya juga (CR), meski hanya mendengar suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan secara bersama-sama.
Dari percobaan tersebut Pavlov menyimpulkan bahwa belaja adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, apabila stimulus diadakan (CS) selain disertai dengan stimulus penguat (UCS), setimulus tersebut (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahab yang kita kehendaki yang disebut CR (Ahmad Mudzakir : 43)

3. John B. Watson
Dari beberap literatur yang penulis dapat, para ahli tidak pernah mencantumkan biografi Watson hanya saja mereka sepakat bahwa ia bersama Thorndike merupakan pelapor aliran psikologi behavioritik. Menurutnya belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons. Namun, stimulus dan respons tersebut harus berupa tingkah laku yang dapat diukur (measurrable) dan diamati (observabel) (Ari Budiningsih : 22). Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang (siswa) selama proses belajar, ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Karena menurutnya, meskipun perubahan-perubahan mental tersebut penting tetapi tidak dapat menjelaskan apakah siswa tersebut telah belajar atau belum karena tidak dapat diukur atau diamati.
Watson merupakan seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik sejauh dapat diamati dan diukur. Asumsinya, hanya dengan cara inilah akan dapat diramal perubahan-perubahan yang bakal terjadi setelah peserta didik mengalami proses belajar.

4. Clark L. Hull (1884-1952)
Clark L. Hull adalah tokoh yang mempunyai pengaruh besar terhadap psikologi belajar terutama konsep-konsep belajar lewat penelitiannya yang dilakukan mulai tahun 1950. Hull dilahirkan pada tahun 1884 di sebuah kota dekat Akron, New York. Pada usia 24 tahin ia diserang penyakit typus, kemudian diserang pula dengan kelumpuhan sehingga menyebabkan dirinya gagal mencapai cita-citanya menjadi insinyur pertambangan. Akhirnya, ia memutuskan untuk mempelajari psikologi yang dianggap pekerjaan yang cocok untuknya. Hull menyusun teori dengan pendekatan deduktif-hipotetik yaitu penekanan teori dan pemikiran berdasarkan hipotesa-hipotesa. Dalam beberapa dekade konsep “drive reduction” (kemudian berubah menjadi drive-stimulus reduction) dan reinfoecment merupakan proses fundamental yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan untuk penelitian lebih lanjut.


a. Teori Deduktif-Hipotetik Hull
Teori yang dikemukakan Hull menekankan kepada pendekatan deduktif hipotetik. Konsep dan teorinya dipengaruhi oleh pemikiran Thorndike melalui stimulus respon. Menurut pandangannya, belajar merupakan perubahan tingkah laku melalui kekuatan kebiasaan (proses pembiasaan). Peranan penguatan sangat diperlukan untuk terjadinya respons, dengan memperhatikan faktor kelelahan. Konsep dan gagasannya diteapkan melalui dalil-dalinya yang berkenaan dengan efek stimulus, rintangan dan penguat. Dalam pengembangan teorinya, Hull bertolak dari anggapan bahwa manusia adalah organisme objektif yang mempertahankan diri. Semua tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga keberlangsungan hidup. Nampaknya Hull sangat dipengaruhi olah teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin.

b. Aplikasi Teori Hull dalam dunia pendidikan dan Pengajaran
Menurut teori Hull, kondisi yang disusun secara optimal akan mempermudah siswa untuk belajar. Belajar di kelas dapat diklasifikasikan dalam tiga tipe yaitu : stimulus discrimination, respon differentions dan reward / punishment konsequences. Proses belajar dibedakan menjadi belajar tentang kebiasaan dan belajar tentang incentiv. Selanjutnya terdapat dua motivasi terhadap belajar siswa yaitu dorongan atau kebutuhan siswa terhadap situasi belajar dan harapan murid terhadap konsekuensi belajar. Oleh karena itu guru atau kepala sekolah harus merencanakan kegiatan belajar berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap dorongan yang mendasari siswa. Dengan adanya dorongan belajar, maka belajar merupakan penguatan. Makin banyak belajar, makin banyak reinforcement (penguatan) menjuadi makin besar motivasi untuk menggunakan respon yang menuju keberhasilan belajar. Belajar dipandang sangat erat dengan adaptasi survival. Beberapa pertanyaan dasar yang menurut teori Hull sangat berperan dalam proses pembelajaran di kelas adalah :
1. Bagaimana menyediakan stimuli di kelas dalam usaha membantu kegiatan belajar siswa ke arah pencapaian tujuan pendidikan dan tujuan-tujuan pengajaran ?
2. Apa kebutuhan yang paling penting dari setiap siswa ?
3. Penghargaan apa yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa ?
4. Bagaimana cara untuk meningkatkan dorongan belajar pada siswa ?
5. Bagaimana merencanakan kegiatan belajar dengan memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan siswa dan penghargaan-penghargaan yang diperlukan ?
6. Bagaimana cara meningkatkan kebutuhan membuat kegiatan di kelas agar lebih sesuai dan lebih tepat dengan kebutuhan siswa ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut apabila dikaji secara seksama akan memberika arah dan rambu-rambu bagaimana pengajaran di kelas harus dilakukan. Arah dan rambu-rambu tersebut adalah :
1. Pentingnya tujuan bagi siswa, yang dirumuskan melalui tujuan-tujuan pembelajaran
2. Pemberian stimulus oleh guru ditujukan pada pencapaian tujuan pengajaran
3. Keberhasilan belajar dipengaruhi oleh ada tidaknya kebutuhan belajar pada diri siswa
4. Motivasi sangat penting dalam pengajaran sesuai dengan kebutuhan siswa.
5. Program belajar-mengajar harus dirancang sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan siswa.
Prinsip-prinsip tersebut hendaknya dijadikan dasar dalam menyusun teori pengajaran.
5. Burrhus Frederic Skinner
Skiner lahir pada tanggal 20 maret 1904 di kota kecil Susquehanna, Pennsylvania, AS. Ayahnya adalah seorang pengacara dan ibunya merupakan seorang ibu rumah tangga yang berkepribadian kuat (Boeree, 1997 : 249). Gelar BA-nya dalam bidang bahasa Inggris dari Hamilton College, negara bagian New York.

a. Teori Operant Conditioning Skinner
Teori Skinner didasarkan pada “cara kerja yang menentukan” (operant conditioning). Setiap makhluk hidup pasti selalu dalam proses “melakukan sesuatu” terhadap lingkungannya, yang dalam arti sehari-hari berarti ia hidup dalam dunia, yang melakukan apa yang dituntut oleh hakikat alamiah dirinya. Selama melakukan proses ini, makhluk hidup pasti menerima stimulan-stimulan tertentu. Stimulan ini disebut sebagai “stimulan yang menggugah” yang pada akhirnya berdampak meningkatkan proses kerja individu atau organisme tersebut. Dengan kata lain “sebuah prilaku pasti menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu, dan konsekuensi ini akan mengubah kecenderungan makhluk hidup untuk mengulangi prilaku yang sama setelah itu dari segi maksud dan tujuannya” (Boeree : 251). Formulasi Skinner bahwa tingkah-laku individu atau organisme sepenuhnya ditentukan oleh stimulus, tidak ada faktor perantara lainnya. Rumusnya; Behavior (B) = f (fungsi) dari S (Stimulus) atau B = f (S).
Tingkah laku atau respon (R) tertentu akan timbul sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu (S), respon yang dimaksud Skinner adalah respon berkondisi yang dikenal dengan respon operant (tingkah laku operant). Sedang stimulusnya adalah stimulus operant (John R. Anderson, 1994 : 20-22).
Menurut Skinner belajar adalah perubahan dalam prilaku yang dapat diamati dalam kondisi yang dikontrol secara baik. Menurutnya ada tiga syarat terjadinya interaksi antara organisme dan lingkungannya yaitu : (1) saat respon terjadi, (2) respon itu sendiri, (3) konsekuensi penguat respon. Interaksi dari ketiga syarat ini disebut “contingencies of reinforcement”.
Skinner berusaha meneliti stimulus dan hubungannya dengan respon. Hubungan dari stimuli yang diberikan dapat digambarkan jika stimuli dimanipulasikan dan diobservasi sehingga menjadi perubahan prilaku pada organisme. Dalam proses belajar, sekiner mengemukakan dua tipe belajar yaitu : Classical conditioning Pavlov (tipe S). tipe ini dikenal adanya electing stimuli yang mengutamakan “apa yang dilakukan agar timbul perubahan tingkah laku pada peserta didik”. Tipe belajar kedua disebut operant conditioning (Tipe R) yang ditandai oleh keadaan tidak adanya eliciting stimuli dan tingkah laku dikontrol oleh efeknya atau pengaruh-pengaruhnya terhadap lingkungan. Conditioning tipe R meliputi adanya reinforcement stimuli setelah terjadinya respon (Sudjana : 94)


b. Aplikasi Teori Operant Conditioning Skinner dalam dunia Pendidikan
Skiner mengakui bahwa aplikasi dari teori operant adalah terbatas, tetapi ia merasa bahwa ada implikasi praktis bagi pendidikan. Ia mengemukakan bahwa kontrol yang positif (menyenangkan) mengandung sikap yang menguntungkan terhadap pendidikan. Menurutnya peranan utama dari pendidik adalah menciptakan kondisi agar hanya tingkah laku yang diinginkan saja yang diberi penguat. Stimulus deskriminatif dipergunakan untuk memaksimalkan terjadinya tingkah laku yang diinginkan. Ia menganjurkan untuk melakukan analisis langsung terhadap aktifitas-aktifitas yang terjadi dalam situasi praktis untuk mengenal tingkah laku yang pantas dan yang tidak pantas secara tepat. Pendidik hendaknya melakukan pencatatan kemajuan siswa sehingga dapat dilakukan perubahan program pendidikan jika hal tersebut sangat diperlukan siswa. Hasil pencatatan kemajuan siswa tersebut dipakai sebagai dasar perbaikan selanjutnya baik mengenai teknik pendidikan yang dipakai maupun tujuan pendidikan sendiri. Pendidik perlu mengetahui dan menentukan tugas-tugas mana yang akan dicoba atau dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya dan hasil-hasil apa yang diharapkannya. Mengajar adalah mengatur kesatuan penguat untuk mempercepat proses belajar. Dengan demikian, tugas seorang guru adalah menjadi arsitek dalam membentuk tingkah laku peserta didik melalui penguatan sehingga membentuk respon yang tepat di kalangan peserta didik.
Dengan kata lain fokus nyata dalam pengajaran adalah pemberian penguatan yang konsisten, segera dan positif bagi tingkah laku yang tepat serta bagi pencapaian tujuan pengajaran yang diinginkan. Ada beberapa prinsip pengajaran menurut Skinner :
1. Perlu adanya tujuan yang jelas dalam pengertian tingkah laku apa yang diharapkan dicapai oleh siswa. Tujuan ini hendaknya diatur sedemikian rupa secara bertahap dari yang sederhana menuju yang kompleks.
2. Memberi tekanan kepada kemajuan individu sesuai dengan kemampuannya.
3. Pentingnya penilaian yang terus menerus untuk menetapkan tingkat kemajuan yang dicapai siswa
4. Prosedur pengajaran dilakukan melalui modifikasi atas dasar hasil evaluasi dan kemajuan yang dicapainya.
5. Hendaknya digunakan reinforcement (penguatan) yang positif secara sistematis baervareasi, dan sesegera mungkin pada saat respon siswa telah terjadi
6. Prinsip belajar tuntas sebaiknya digunakan agar penguasaan belajar para siswa diperoleh sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan (tujuan yang ingin dicapai dari pengajaran)
7. Program remidial bagi siswa yang memerlukan harus diberikan agar mencapai prinsip belajar tuntas.
8. Peranan guru lebih diarahkan kepada peranya sebagai arsitek dan pembentuk tingkah laku siswa.
Meskipun belajar Skinner terlihat sempurna, para ahli memberikan beberapa kritikan terhadap teori ini antara lain : proses belajar hanya menekankan penguasan bahan yang sifatnya faktual, tetapi kurang mengembangkan tujuan kognitif yang kompleks. Guru lebih dominan peranannya dalam membentuk tingkah laku siswa sehingga siswa cenderung pasif. Karena objek penelitian yang diangkat dari binatang maka tidak semuanya dapat diberlakukan kepada manusia.
C. Kelebihan dan kelemahan Teori Belajar Behavioristik
Secara umum terdapat beberapa kelebihan dari semua tipe teori behavioristik yang mengutamakan formulasi S-R di antaranya: Teori ini telah mampu memberikan sumbangan atau motivasi bagi lahirnya teori-teori belajar yang baru —yang prinsip-prinsipnya masih dapat diaplikasikan secara dalam pembelajaran (Asri Budiningsih : 30). Prinsip-prinsip tersebut misalnya prinsip struktur yang tersusun rapi dan teratur (pengetahuan telah tersusun secara rapi dalam format kurikulum, materi pelajaran, pokok bahasan dan sub pokok bahasan), pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin, serta pembiasaan yang tinggi. Selain itu, seorang peserta didik yang belajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas serta diterpkan secara ketat (cocok diterapkan di Akademi Militer, Akpol dan sebagainya). Segala sesuatu dalam proses pembelajaran dapat diukur secara nyata sehingga setiap kekurangan dalam proses pembelajaran, segera dapat dirumuskan solusinya.
Adapun kekurangan dari teori behavioristik misalnya : teori ini mendudukkan peserta didik atau orang yang belajar pada individu pasif. Respon atau prilaku yang timbul disebabkan adanya pengkondisian tertentu, bukan atas kemauan objek didik sendiri. Karena pengetahuan telah tersusun dan rapi, maka belajar merupakan perolehan pengetahuan sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau peserta didik. Peserta didik diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang telah diajarkan. Artinya, siswa layaknya bejana kosong tempat menampung pengetahuan dari pengajarnya (Ahmad Mudzakir : 45). Realitas ontologis siswa yang memiliki potensi, self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self control (pengendalian diri) dianggap tidak ada. Kegagalan atau ketidak mampuan dalam penambahan pengetahuan dikatagorikan sebagai kesalahan yang harus dihukum sementara keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas belajar layak mendapat hadiah. Aktivitas belajar lebih banyak didasrkan pada buku teks dengan penekanan ketrampilan mengungkapkan isi buku teks, akibatnya pengetahuan siswa hanya teks oriented tidak ada terobosan baru yang pada gilirannya tidak timbul ide-ide segar sekaligus kreatif yang dihasilkan peserta didik. Proses pembiasaan yang mekanistik (layaknya sebuah mesin) mengakibatkan peserta didik bagaikan robot yang tidak memiliki kemandirian dalam menentukan tujuannya. Selain itu proses belajar manusia yang dianalogikan dengan prilaku hewan tersebut sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan.

D. Aplikasi Teori-teori dalam Pendidikan dan Pengajaran
Menurut Asri Budiningsih beberapa karakteristi pendidikan yang memakai atau berpijak pada teori behavioristik adalah ; pengetahuan adalah objek pasif, pasti, tetap dan tidak berubah. Pengetahuan sudah tersusun rapi, terstruktus secara sistematis oleh karena itu belajar merupakan perolehan pengetahuan dan mengajar adalah memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilih sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini sangat ditentukan oleh karakteristik dan struktur pengetahuan (Asri Budiningsih : 28).
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil tes. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar dan jawaban tersebut menunjukkan sudah atau belum terselesaikannya kegiatan pembelajaran. Penekanan evaluasi pada kemampuan secara individual.
Langkah-langkah pembelajaran meliputi :
• Menentukan tujuan pembelajaran
• Menganalisa lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal (entry behavior) siswa.
• Menentukan materi pelajaran.
• Memecah materi pelajaran menjadi kecil-kecil, meliputi pokok bahasan dan sub pokok bahasan
• Menyajikan materi pelajaran.
• Memberikan stimulus yang dapat berupa ; pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes/kuis, latihan atau tugas-tugas.
• Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa.
• Memberikan penguatan / reinforcement maupun hukuman
• Memberikan stimulus baru
• Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa
• Memberikan penguatan lanjut atau hukuman (Asri Budiningsih : 29)
D. Kesimpulan
Pada prinsipnya, teori behavioristik menyatatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Oleh karena itu seseorang atau siswa dianggap telah belajar sesuatu jika telah menunjukkan perubahan tingkah laku. Aspek utama adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau out put yang berupa respons. Penguatan atau apa saja yang memperkuat timbulnya respon merupakan faktor terpenting dalam belajar. Bila penguat positif (positif reinforcement) ditambahkan maka respon akan semakin kuat demikian juga bila penguat dikurangi (negatif reinforcement) maka respon juga akan menguat.
Kegiatan pembelajaran lebih ditekankan sebagai aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa mengungkap kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran memakai prinsip dari bagian-bagian terkecil hingga ke keseluruan, sementara evaluasi menuntut satu jawaban yang benar dan jawaban benar ini merupakan pertanda bahwa siswa telah melakukan proses belajar dan menyelesaikan tugas belajarnya. Makalah ini hanya merupakan secercah ide bagi bapak dan ibu, selanjutnya yang terpenting adalah diskusi yang positif bukan debat kusir yang tidak akademik serta mengekang tentatifitas pengetahuan, Selamat berdiskusi. []

Tidak ada komentar: